Minggu, 30 November 2014

Cipto Mangunkusumo

Cipto Mangunkusumo dilahirkan pada 4 Maret 1886 di desa Pecagakan, Jepara, Jawa Tengah.
Ia adalah putera tertua dari Mangunkusumo, seorang priyayi rendahan dalam struktur masyarakat Jawa
Sementara, sang ibu adalah keturunan dari tuan tanah di Mayong, Jepara.

Mangunkusumo berhasil menyekolahkan anak-anaknya pada jenjang yang tinggi. Cipto beserta adik-adiknya yaitu Gunawan, Budiardjo, dan Syamsul Ma’arif bersekolah di STOVIA, sementara Darmawan, adiknya bahkan berhasil memperoleh beasiswa dari pemerintah Belanda untuk mempelajari ilmu kimia industri di Universitas Delft , Belanda. Si bungsu, Sujitno terdaftar sebagai mahasiswa STIH Jakarta.
Cipto bersekolah di STOVIA, sekolah dokter pada zaman penjajahan belanda. Ia dijuluki “Een begaald leerling” atau murid yang berbakat oleh guru-gurunya.
Dokter Cipto menikah dengan seorang Indo pengusaha batik, sesama anggota organisasi Insulinde, bernama Marie Vogel pada tahun 1920.

Ia banyak berjasa dalam pergerakan nasional di Indonesia. Ia termasuk ke dalam tiga serangkai yang membentuk Indische Partij. Oleh karena itu ia sangat dimusuhi oleh belanda dan sering diasingkan di banyak tempat.
Dalam pembuangan ke Banda, penyakit asmanya kambuh..Ketika Cipto diminta untuk menandatangani suatu perjanjian bahwa dia dapat pulang ke Jawa dengan melepaskan hak politiknya, Cipto secara tegas mengatakan bahwa lebih baik mati di Banda daripada melepaskan hak politiknya. Cipto kemudian dialihkan ke Makasar, dan pada tahun 1940 Cipto dipindahkan ke Sukabumi. Kekerasan hati Cipto untuk berpolitik dibawa sampai meninggal pada 8 Maret 1943 di Jakarta.
Terbentuknya Budi Utomo pada 20 Mei 1908 disambut baik Cipto sebagai bentuk kesadaran pribumi akan dirinya. Pada kongres pertama Budi Utomo di Yogyakarta, jati diri politik Cipto semakin nampak. Lalu ia diangkat menjadi pengurus Budi Utomo.
Meskipun diangkat sebagai pengurus Budi Utomo, Cipto akhirnya mengundurkan diri dari Budi Utomo yang dianggap tidak mewakili aspirasinya. Sepeninggal Cipto tidak ada lagi perdebatan dalam Budi Utomo akan tetapi Budi Utomo kehilangan kekuatan progesif nya.

Ia bertemu dengan Douwes Dekker yang tengah berpropaganda untuk mendirikan Indische Partij. Kerjasama dengan Douwes Dekker telah memberinya kesempatan untuk melaksanakan cita-citanya, yakni gerakan politik bagi seluruh rakyat Hindia Belanda. Bagi Cipto Indische Partij merupakan upaya mulia mewakili kepentingan-kepentingan semua penduduk Hindia Belanda, tidak memandang suku, golongan, dan agama.
Bersama dengan Ernest Douwes Dekker dan Ki Hajar Dewantara Ia dikenal sebagai "Tiga Serangkai" yang banyak menyebarluaskan ide pemerintahan sendiri dan kritis terhadap pemerintahan penjajahan Hindia Belanda dan mereka mendirikan Indische Partij.


Oleh karena alasan kesehatan, pada tahun 1914 Cipto diperbolehkan pulang kembali ke Jawa dan sejak saat itu dia bergabung dengan Insulinde, suatu perkumpulan yang menggantikan Indische Partij.
Ia juga tergabung dalam Volksraad atau Dewan Rakyat yang didirikan pada 1918.

Aksi Komite Bumi Putera mencapai puncaknya pada 19 Juli 1913, ketika harian De Express menerbitkan suatu artikel Suwardi Suryaningrat yang berjudul “Als Ik Nederlands Was” (Andaikan Saya Seorang Belanda). Pada hari berikutnya dalam harian De Express Cipto menulis artikel yang mendukung Suwardi untuk memboikot perayaan kemerdekaan Belanda. Tulisan Cipto dan Suwardi sangat memukul Pemerintah Hindia Belanda, pada 30 Juli 1913 Cipto dan Suwardi dipenjarakan, pada 18 Agustus 1913 keluar surat keputusan untuk membuang Cipto bersama Suwardi Suryaningrat dan Douwes Dekker ke Belanda karena kegiatan propaganda anti Belanda dalam Komite Bumi Putera.

Selama masa pembuangan di Belanda, bersama Suwardi dan Douwes Dekker, Cipto tetap melancarkan aksi politiknya dengan melakukan propaganda politik berdasarkan ideologi Indische Partij. Mereka menerbitkan majalah De Indier yang berupaya menyadarkan masyarakat Belanda dan Indonesia yang berada di Belanda akan situasi di tanah jajahan. Majalah De Indier menerbitkan artikel yang menyerang kebijaksanaan Pemerintah Hindia Belanda.
Pada 25 November 1919 Cipto berpidato di Volksraad, yang isinya mengemukakan persoalan tentang persekongkolan Sunan dan residen dalam menipu rakyat. Cipto menyatakan bahwa pinjaman 12 gulden dari sunan ternyata harus dibayar rakyat dengan bekerja sedemikian lama di perkebunan yang apabila dikonversi dalam uang ternyata menjadi 28 gulden.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar